B. Hambatan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
di BPKP
Peranan BPKP dalam pengawasan keuangan dan
pembangunan di Indonesia yang begitu besar telah
menimbulkan banyak masalah dalam pengawasan itu
sendiri. Masalah-masalah dalam pengawasan keuangan
dan pembangunan ini berakibat pada timbulnya berbagai
macam hambatan yang nantinya jika tidak ditangani
akan berubah menjadi “penyakit” bagi pemerintah
dalam mengelola negara.
Dari hasil penelitian ditemukan hambatan dalam
pengawasan dimulai dari SDM, anggaran untuk melakukan
pengawasan, sarana dan prasarana yang
digunakan untuk melakukan pengawasan, metode
kerja dalam pengawasan, persepsi negatif terhadap
pengawasan, dan dominannya lembaga pengawas
eksternal. Menurut Hidayat dkk. (2005) kendala dalam
pengawasan terjadi ketika adanya pejabat yang salah
menangkap makna dan esensi sesungguhnya terhadap
tugas-tugas pengawasan dan adanya persepsi beberapa
pihak bahwa pengawasan dimaksudkan hanya untuk
mencari-cari kesalahan. Ada kesamaan antara
penemuan peneliti dengan teori yang dikemukakan
peneliti bahwa dalam pengawasan juga terdapat hambatan
baik internal ataupun eksternal.
Ada lima hambatan yang dialami oleh lembaga
pemerintah khususnya BPKP. Kelima hambatan itu
adalah man, money, material, machine, dan method.
Sementara berdasarkan temuan lapangan, peneliti
menemukan dua hambatan pengawasan keuangan dan
pembangunan di BPKP lagi, yaitu persepsi negatif
terhadap pengawasan dan dominannya lembaga
pengawas eksternal. Hambatan yang terjadi dalam
pengawasan keuangan dan pembangunan di BPKP
sebagai berikut.
Hambatan pertama yaitu sumber daya manusia
(SDM). Banyak sekali hambatan pengawasan keuangan
dan pembangunan yang terjadi selama
ini, salah satunya adalah SDM. SDM merupakan
faktor utama dalam pengawasan karena jika tidak
ada SDM yang terjadi adalah tidak akan ada proses
pengawasan. Masalah yang muncul dari SDM ini
terjadi biasanya karena minimnya kesadaran SDM
terhadap pengawasan itu sendiri, termasuk pula
SDM yang ada di BPKP. Perubahan formasi yang
terjadi di Indonesia sejak 1998 berdampak pula
pada pergeseran wewenang, tugas dan fungsi BPKP.
BPKP tidak bisa lagi mengawasi secara penuh instansiinstansi
pemerintah pusat maupun daerah dan juga
BUMN/D. Hal ini menjadikan SDM yang belum bisa
memahami dampak perubahan itu, tidak dapat berbuat
banyak dalam melaksanakan pengawasan karena berkurangnya
kekuatan yang dimiliki BPKP.
Perubahan BPKP ke arah quality assurance dan
consulting memberikan dampak bahwa ada pegawai
BPKP yang tidak menghendaki terjadinya perubahan
karena sudah terbiasa dengan budaya yang ada.
Perubahan itu memberikan dampak pada pegawai
tersebut seperti terjadinya penolakan dan kinerjanya
cenderung menjadi tidak baik. Permasalahan lain yang
mempengaruhi dalam proses pengawasan keuangan
dan pembangunan, yaitu perilaku. Perilaku di
inspektorat misalnya memberikan pengaruh terhadap
pegawai pengawasan keuangan dan pembangunan
disebabkan reward yang didambakan pegawai tidak
ada dan pegawai tersebut menbandingkannya dengan
instansi swasta. Hal ini yang sangat mempengaruhi
pengawai khususnya etos kerja yang rendah dan
penyimpangan yang dilakukan oleh pegawai.
Hambatan SDM berikutnya adalah SDM yang
melakukan pengawasan belum seluruhnya memiliki
kualifikasi yang memadai dalam memahami definisi
pengawasan itu sendiri. SDM yang sebagian besar
memiliki latar belakang di bidang akuntansi membuat
pengawasan pada sektor lain kurang dikuasai oleh
auditor BPKP. Hal ini membuat pengawasan yang
dilakukan oleh pengawas dari instansi pemerintah
hanya berkutat pada masalah laporan akuntansi dari
kegiatan-kegiatan atau proyek yang dilakukan oleh
instansi tersebut yang dikenal dengan pemeriksaan.
Selain itu, ranah-ranah audit atas kinerja dalam hal ini
merupakan bidang manajemen juga menjadi kendala
yang harus dialami oleh BPKP selama ini.
Dalam melakukan pengawasan, SDM yang dimiliki
BPKP berdasarkan strata pendidikan yang
didapatkan dari bagian kepegawaiaan tahun 2009,
sebesar 8 orang (0,14%) berpendidikan S3, sebesar
439 orang (7,24%) berpendidikan S2, sebesar 2.876
orang (48,63%) berpendidikan S1/DIV, sebesar
1.309 orang (22,13%) berpendidikan D3, sebesar 21
orang (0,36%) berpendidikan D1, sebesar 1.133 orang
(19,16%) berpendidikan SLTA, sebesar 51 orang (0,86%)
berpendidikan SLTP, dan sebesar 77 orang (1,30%)
berpendidikan SD.
Berdasarkan data kepegawaian tahun 2009 yang
diklasifikasikan atas strata jabatan, sebesar 421 orang
(7,12%) merupakan penjabat struktural, sebesar 3.460
orang (58,51%) merupakan penjabat fungsional
auditor, sebesar 20 orang (0,34%) merupakan Widyaiswara,
sebesar 109 orang (1,84%) merupakan analis
kepegawaiaan, sebesar 53 orang (0,9%) merupakan
pranata computer, sebesar 5 orang (0,08%) merupakan
dokter, sebesar 3 orang (0,05%) merupakan perawat,
sebesar 524 orang (8,86%) merupakan pegawai
non struktural/fungsional dan sebesar 1249 orang
(21,12%) merupakan jabatan fungsional umum. Dari
data tersebut dapat diketahui bahwa jabatan yang ada
di BPKP tidak didukung dengan pendidikan yang
memadai. Cukup banyak SDM yang menduduki strata
jabatan yang tinggi namun tidak diimbangi dengan
pendidikan yang tinggi. Masih banyak terdapat SDM
berpendidikan di bawah S1 dibandingkan dengan
SDM yang berpendidikan minimal S1. Keadaan ini
dapat berdampak pada kinerja BPKP yang kurang
maksimal dalam melaksanakan kegiatannya.
Seperti halnya BPKP, lembaga pengawas lainnya
inspektorat juga memiliki hambatan di dalam SDM.
Hendar Fradesa menjelaskan bahwa kendala dalam
SDM yang selama ini terjadi di inspektorat adalah kompetensi
dari aparatur lembaga pengawasan tersebut
masih kurang di bidang akuntansi. Kebutuhan pada
tenaga-tenaga akuntansi untuk mengaudit laporan keuangan
di daerah masih dibutuhkan dan yang berikutnya
adalah tenaga dari latar belakang hukum serta SDM
yang berlatar belakang lainnya.
Kebutuhan yang masih belum terpenuhi di Itjen
dan Itda adalah masalah SDM yang berlatar belakang
akuntansi. Keminiman pegawai yang berlatar belakang
akuntansi ini menyebabkan beberapa kegiatan atau
proyek yang seharusnya bisa dilakukan pengawasan,
hanya dapat dilakukan dengan pemeriksaan pada
akhir periode. Pada tabel SDM yang dimiliki oleh
itjen menggambarkan bahwa minimnya SDM yang
ahli di bidang akuntansi atau pengawasan pun masih
terjadi dibandingkan dengan BPKP. Jika merujuk
kembali pada gambar 1 mengenai konfigurasi domain
pengawasan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara
kolom kompetensi (SDM) maka akan terlihat
komposisi SDM di Inspektorat memang 50% lebih
kecil SDM yang berasal dari akuntansi dibandingkan
dengan BPKP yang memiliki SDM yang berlatar
belakang akuntasi sebesar 75%.
Data dari LAKIP Maret 2009 Inspektorat Jendral
Depkeu menunjukkan bahwa terdapat satu orang
(0,2%) yang memiliki kompetensi strata pendidikan S3,
sebanyak 92 orang (16%) yang memiliki kompetensi
strata pendidikan S2, 215 orang (37,2%) yang memiliki
kompetensi strata pendidikan S1/DIV, 143 orang
(25%) yang memiliki kompetensi strata pendidikan
D3, 28 orang (5%) yang memiliki kompetensi strata
pendidikan D1, sebesar 83 orang (15%) yang memiliki
kompetensi strata pendidikan SLTA, 4 orang (0,7%)
yang memiliki kompetensi strata pendidikan SLTP,
dan terakhir 6 orang (0,9%) yang memiliki kompetensi
strata pendidikan SD.
SDM yang ditempatkan di Itjen dan Itda merupakan
SDM yang termarjinalkan dan merupakan SDM yang
tidak lagi digunakan dalam pemerintah pusat. Wajar jika
kemampuan dalam pelaksanaan pengawasan di bawah
rata-rata dari SDM yang ada di pusat. Hal inilah yang
juga menjadi perbedaan antara BPKP dan inspektorat
karena dengan minimnya SDM ini menyebabkan pengawasan
yang dilakukan oleh dua lembaga tersebut
ditangani langsung atas inisiatif pelaksana kegiatan.
Selain itu, kekurangan dan ketidakmerataan spersifikasi
aparat inilah yang menyebabkan ketidaksinambungan
antara BPKP dengan Itjen dan Itda timpang.
Hal yang lain yang juga mempengaruhi SDM
dalam pengawasan keuangan dan pembangunan di
BPKP adalah kegiatan ataupun proyek, lebih banyak
jumlahnya jika dibandingkan dengan jumlah SDM
yang ada untuk melakukan pengawasan. Ini yang menyebabkan
BPKP tidak bisa melakukan pengawasan
dalam waktu yang bersamaan dan secara keseluruhan.
BPKP harus melakukan pengawasan di kabupaten seluruh
Indonesia, sedangkan SDM tidak mencukupi
jumlahnya sebanyak itu dalam waktu bersamaan.
Di beberapa lembaga atau instansi, aparat pengawas
juga belum bisa menjangkau seluruh kegiatan atau
proyek-proyek yang begitu banyak dan besar sehingga
menyebabkan pengawasan yang dilakukan oleh
lembaga pengawasan hanya berfokus di akhir periode
saja. Penyebabnya adalah SDM dalam melaksanakan
kegiatan pengawasan keuangan dan pembangunan
masih mengalami kekurangan. Pengawasan jumlah
SDM yang tidak sebanding dengan jumlah proyek
atau kegiatan menjadi persoalan. Hal ini menjadi masalah
jika ditarik benang merah dalam pengawasan
di Indonesia, dimana pengawasan yang dilakukan
oleh lembaga-lembaga pengawas hanya sebatas pada
pemeriksaan laporan keuangan saja bukan pada
aktivitas pengawasan yang berjalan secara continue.
Adanya rotasi pegawai dalam struktur pemerintahan,
menjadikan penyebab timbulnya permasalahan pula
dalam pengawasan keuangan dan pembangunan. Hal ini
dikarenakan, rotasi pegawai berdampak pada ahli-ahli
yang sengaja dipersiapkan dalam kegiatan pengawasan
keuangan dan pembangunan harus dipindah ke tempat
baru dalam struktur pemerintah, sedangkan posisi yang
lama digantikan oleh orang lain yang bisa jadi belum
mengetahui seluk beluk pengawasan keuangan dan
pembangunan yang dilakukan oleh lembaga tersebut.
Sistem pengaturan struktur yang selalu berpindahpindah
sering kali menjadi salah satu penyebab pengawasan
tidak berjalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar