Rabu, 27 November 2013

41. Metode Pengukuran Dalam Seleksi Karyawan

Metode Pengukuran Dalam Seleksi Karyawan
Pada waktu melakukan seleksi karyawan, organisasi berusaha melakukan pengukuran yang akurat dan reliable dengan harapan mereka akan dapat memilih karyawan yang paling “tepat.” Dengan kata lain, psikolog diharapkan dapat membuat prediksi mengenai perilaku dan prestasi kerja individu di masa yang akan datang (Kwaske & Laser, 2004).
Hal ini dianggap penting karena tanpa karyawan yang kompeten dan bermotivasi tinggi, organisasi tidak akan dapat berfungsi secara efektif. Banyak perusahaan rela menghabiskan ribuan dollar untuk merekrut satu karyawan yang terbaik, dan hal ini dianggap sebagai investasi yang menguntungkan (Stickrath & Sheppard, 2004).
Ketika kita membahas pengukuran dalam konteks pemilihan karyawan, pada umumnya asosiasi yang muncul adalah pengukuran psikometrik atau kuantitatif. Pengukuran semacam ini yang banyak digunakan oleh perusahaan pada saat ini adalah pengukuran kemampuan verbal, numeric, logika abstrak dan kepribadian atau gaya kerja. Ketika pengukuran yang lebih subjektif seperti wawancara atau assessment centre digunakan, maka lebih besar kemungkinan digunakannya metoda kualitatif. Namun demikian, hasil pengukuran subjektif inipun seringkali dikuantifikasi dalam bentuk rating.
Tulisan ini akan membahas baik teknik kuantitatif maupun kualitatif yang digunakan dalam praktek seleksi karyawan serta untung-rugi dari masing-masing teknik.
PENGUKURAN KUANTITATIF
Pengukuran dalam konteks seleksi karyawan dapat didefinisikan sebagai, “satu set prosedur yang menilai pengetahuan, ketrampilan, kemampuan, dan karakteristik kepribadian seorang individu dengan tujuan membuat rekomendasi… mengenai kesesuaian individu tersebut untuk sebuah pekerjaan” (Kwaske & Laser, 2004, pp. 186-187). Inilah yang berusaha dicapai oleh staf SDM setiap perusahaan melalui proses seleksi yang menggunakan metode pengukuran kuantitatif.
Alat-alat pengukuran kuantitatif seringkali diciptakan oleh para psikolog melalui proses sebagai berikut (Stickrath & Sheppard, 2004): item-item tes disusun dengan tujuan untuk mengukur sebuah atribut dan hasilnya berupa alat tes eksperimental diadministrasikan pada sebuah sampel yang mewakili populasi target. Item yang gagal memenuhi standard minimum psikometris akan dibuang dan proses pembuangan ini akan menghasilkan satu set item yang akan dipertahankan. Validitas prediktif dari alat tes ini lalu bisa diketahui dengan cara mengukur korelasi antara skor tes dengan prestasi kerja.
Ada banyak kemampuan dan karakteristik manusia yang bisa dikuantifikasi untuk tujuan pengukuran. Stickrath & Sheppard (2004) memberikan sebuah contoh kasus sebagai berikut: Pada waktu memilih petugas penjara, salah satu karakteristik yang dibutuhkan adalah kemampuan petugas untuk mengetahui apakah perkelahian antar narapidana akan terjadi. Untuk itu, hal di atas dijadikan salah satu item dalam suatu alat tes yang disebut Ohio Corrections Officer Psychological Inventory. Untuk kebutuhan yang sama yaitu memilih petugas penjara, di Amerika Serikat juga beredar sebuah alat tes berupa video. Para kandidat diminta menonton beberapa skenario di lingkungan penjara dan menjawab soal pilihan berganda. Mereka harus menjawab minimal 70% dari pertanyaan secara benar untuk dapat melanjutkan ke tahap seleksi berikutnya. Selain itu, ada beberapa pilihan jawaban dalam soal pilihan berganda tadi yang dianggap “kesalahan fatal” dan kandidat yang memilih pilihan fatal tadi akan otomatis gugur dari proses seleksi (Stickrath & Sheppard, 2004).
Contoh kasus lain penggunaan pengukuran kuantitatif dalam seleksi karyawan diberikan oleh Harris & Lee (2004). Mereka menggunakan sebuah model kepribadian yang disebut Model 3M sebagai dasar untuk mengembangkan sebuah alat tes kepribadian. Model ini menyatakan bahwa kepribadian mengalir dari trait yang bersifat umum ke khusus. Harris & Lee (2004) mengatakan bahwa model ini tampaknya sesuai untuk digunakan dalam seleksi staf penjualan karena banyak trait-trait dalam model ini yang relevan untuk prestasi kerja di bidang penjualan, misalnya trait kompetitif. Namun di lain pihak model ini tetap mengakui adanya trait kepribadian yang lebih umum. Dengan menggunakan model ini, kuesioner yang dihasilkan merupakan kombinasi antara item-item yang mengukur kepribadian menurut teori kepribadian Big Five yang umum, dengan item-item yang sangat spesifik, misalnya “Saya mengajak pelanggan untuk membicarakan kebutuhan mereka dengan saya” (Harris & Lee, 2004).
Contoh kasus ketiga akan menggambarkan pengukuran work drive (kecenderungan untuk bekerja keras melebihi ketentuan) secara kuantitatif melalui kuesioner kepribadian (Lounsbury, Gibson, & Hamrick, 2004). Item-item menanyakan apakah peserta tes memiliki kecenderungan untuk bekerja melebihi jam kerja yang ditentukan, bekerja lebih dari tanggung jawab yang diberikan, selalu berenergi tinggi di tempat kerja, dan menganggap diri mereka sebagai pekerja keras dibandingkan dengan orang lain. Penelitian validitas menunjukkan bahwa prestasi kerja berkorelasi lebih tinggi dengan work drive dibandingkan dengan tes kognitif ataupun tes kepribadian Big Five (Lounsbury, Gibson, & Hamrick, 2004).
Contoh-contoh kasus di atas mengilustrasikan beberapa kelebihan metode kuantitatif:
  • Administrasi yang mudah, dan juga adanya peluang untuk memanfaatkan teknologi sehingga human error dapat dikurangi. Dalam contoh kasus seleksi petugas penjara, administrasi tes video dengan menggunakan komputer berarti skor akhir akan otomatis dihitung oleh komputer, dan juga memungkinkan adanya pilihan jawaban yang dijadikan “kesalahan fatal”, di mana kandidat yang memilih pilihan fatal tersebut akan otomatis gugur walaupun skor akhirnya tinggi (Stickrath & Sheppard, 2004). Selain itu, jika tes dapat dilakukan secara online, maka kandidat dari lokasi yang berbeda-beda akan dapat mengikuti tes tanpa perlu bepergian.
  • Prosedur standard, reliability, dan validity relatif mudah diketahui. Semua contoh alat pengukuran yang diberikan di atas telah diuji secara psikometris dan terbukti reliabel serta valid. Prosedur standard digunakan untuk memastikan bahwa perusahaan memperlakukan semua kandidat seleksi secara adil dan tanpa bias (Stickrath & Sheppard, 2004).
  • Perbandingan yang objektif antar kandidat, karena semua kandidat dibandingkan dengan norma yang sama. Kebanyakan perusahaan saat ini masih menggunakan norma yang dibeli bersamaan dengan alat tes, karena mereka tidak memiliki data tes mereka sendiri (Kwaske & Laser, 2004). Namun jika perusahaan melakukan administrasi tes dengan komputer, maka data tes akan dengan sangat mudah dapat dijadikan norma sehingga alat tes kuantitatif tersebut akan menjadi lebih bermanfaat.
Di lain pihak, kerugian menggunakan metode pengukuran kuantitatif antara lain:
  • Kemungkinan adanya faking atau bias karena kandidat melakukan penilaian terhadap diri sendiri. Kandidat pada umumnya akan berusaha memberikan gambaran yang terbaik mengenai diri mereka sehingga mereka akan dapat memperoleh pekerjaan. Untuk itu, tes kuantitatif sebaiknya memiliki item-item social desirability atau sejenisnya untuk mengurangi bias yang ada.
  • Perilaku curang. Seperti juga tes pada umumnya, akan ada peserta tes yang berusaha menyontek supaya mereka mendapatkan skor tinggi. Dengan digunakannya komputer, sebuah solusi dapat dilakukan, yaitu item tes yang tampil di hadapan kandidat dipilih secara random dari sejumlah besar item yang tersimpan dalam komputer (Stickrath & Sheppard, 2004). Karena masing-masing kandidat melihat item yang berbeda, mereka terpaksa menjawab sendiri tanpa bisa menyontek.
PENGUKURAN KUALITATIF
Pengukuran kualitatif memiliki tujuan yang sama dengan pengukuran kuantitatif, yaitu memperoleh informasi mengenai para peserta tes. Namun, metode kualitatif tidak bersifat statistic dan administrasinya tidak seketat metode kuantitatif (Goldman, 1992). Contoh pengukuran kualitatif antara lain card sort (menyusun kartu), contoh hasil kerja, and simulasi (seperti in-basket dan role play).
Hingga saat ini, pengukuran kualitatif tidak terlalu banyak digunakan untuk tujuan seleksi karyawan, disebabkan antara lain (Goldman, 1992):
  • Kurangnya standardisasi, reliability, validity, dan norma, yang mengakibatkan timbulanya masalah dalam seleksi karyawan, misalnya kesulitan dalam membandingkan kandidat.
  • Dibutuhkannya lebih banyak keahlian, waktu, dan tenaga untuk mengadministrasikan dan menginterpretasikan hasil tes.
Namun, metode pengukuran kualitatif juga memiliki keuntungan yang tidak dimiliki oleh metode kualitatif, antara lain (Goldman, 1990, 1992):
  • Holistik dan terintegrasi, artinya metode pengukuran ini melihat peserta tes sebagai individu yang utuh dan bukan hanya salah satu aspeknya saja (misalnya minat saja atau ketrampilan saja).
  • Peserta lebih berperan aktif, sehingga peserta dapat lebih memberikan kontribusi pada hasil pengukuran, dan pada akhirnya proses pengukuran tersebut lebih bermakna secara pribadi bagi mereka.
  • Administrasinya fleksibel dan tes dapat diadaptasikan pada individu yang berbeda baik dari segi suku, usia, maupun jenis kelamin.
Jika pengukuran kualitatif digunakan pada proses seleksi, pada umumnya hanya untuk menambahkan informasi yang sudah diperoleh dari pengukuran kuantitatif sebagai metode utama. Misalnya, Keenan (1995) memberikan contoh bawa assessment centre banyak digunakan untuk menyeleksi lulusan S2 di Inggris, sebagai tambahan informasi atas metode yang lebih tradisional seperti tes kepribadian dan kognitif. Assessment centre tersebut biasanya mencakup wawancara dan simulasi seperti case study, presentasi, serta in-tray. Walaupun masing-masing kandidat mendapatkan skor rating secara kuantitatif, informasi kualitatif tetap dicatat berupa observasi dan hasil observasi ini digunakan dalam pembuatan keputusan akhir.
Masalah yang timbul adalah masalah pelatihan. Banyak perusahaan tidak memberikan cukup pelatihan pada para assessor (Keenan, 1995). Karena proses penilaian yang cukup kompleks, kurangnya pelatihan dapat menyebabkan berkurangnya efektivitas assessment centre. Penelitian menunjukkan bahwa ketrampilan assessor memiliki pengaruh yang cukup besar pada validitas pengukuran (Kwaske & Laser, 2004). Masalah ini menjadi sulit diatasi jika staf yang bukan berasal dari departemen SDM (misalnya calon atasan kandidat) turut disertakan dalam proses seleksi.
Cranston (2004) memberikan contoh lain penggunakan metode kualitatif. Sebuah perusahaan finansial menggunakan pengukuran kualitatif yaitu prestasi kerja kandidat fund manager sebelum melamar ke perusahaan tersebut untuk membantu memutuskan apakah kandidat tersebut akan diterima atau tidak. Biasanya, prestasi kerja fund manager diukur secara kuantitatif dengan menghitung untung-rugi yang dihasilkan bagi perusahaan. Namun dalam contoh kasus ini, perusahaan berhasil mengurangi kesalahan dalam seleksi fund manager dengan cara menanyakan alasan mengapa seorang kandidat tidak memiliki prestasi yang baik sebelumnya. Jika fund manager dengan hasil kerja yang buruk dapat memberikan alasan yang masuk akal untuk kerugian yang mereka hasilkan, maka fund manager tersebut bisa saja diterima. Keuntungan utama dari metode ini adalah perusahaan dapat menangkap SDM yang ditolak perusahaan lain karena adanya hasil kerja yang buruk di masa lampau walaupun hasil kerja yang buruk tersebut bukanlah kesalahannya. Namun, proses ini sangat memakan tenaga karena harus melibatkan para eksekutif dari perusahaan (Cranston, 2004).
KESIMPULAN
Tulisan ini bermaksud menunjukkan bahwa baik pengukuran kualitatif maupun kuantitatif memiliki keuntungan dan kerugiannya sendiri. Dalam situasi ideal, perusahaan sebaiknya menggunakan kedua metode ini dalam memilik karyawan. Kandidat tidak dapat diwakili semata-mata oleh skor tes mereka saja, karena itu integrasi atau sintesis dari berbagai alat tes sebaiknya digunakan untuk memutuskan apakah seorang kandidat cukup sesuai untuk bekerja di suatu perusahaan (Kwaske & Laser, 2004). Akan lebih baik lagi jika setelah berbagai tes tersebut diadministrasikan, perusahaan melakukan evaluasi untuk mengetahui validitas dari pengukuran yang dilakukan (Kwaske & Laser, 2004).
Namun, karena penerapan situasi ideal ini membutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit, prioritas dapat diberikan pada seleksi karyawan untuk posisi-posisi kunci dalam perusahaan, karena kesalahan seleksi untuk posisi-posisi kunci tersebut memiliki resiko yang lebih tinggi bagi perusahaan. Dengan cara ini, perusahaan dapat memaksimalkan keuntungan dari kedua metode, dengan tetap mempertahankan biaya seleksi pada tingkat yang dapat diterima.
Dengan adanya metode dalam sebuah perusahaan, maka perusahaan tersebut akan lebih mudah dan teratur dalam mencapai tujuan, visi dan misi yang telah ditetapkan. Namun menurut saya, ada beberapa factor yang mendukung untuk berjalannya suatu metode yang digunakan dalam sebuah perusahaan atau organisasi, antara lain : organisasi yang baik dan pemimpin organisasi yang tentunya juga harus baik dalam memimpin, sumber daya manusia yang berkualitas untuk melakukan kerja sama agar tercapai suatu tujuan, teori organisasi yang dipakai harus sesuai dengan jenis atau bentuk organisasi yang dibentuk di dalam perusahaan tersebut. Dengan demikian perusahaan tersebut akan lebih mudah dalam mencapai tujuanya serta akan lebih terstruktur dan rapih karena memiliki metode dalam organisasi nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar