Rabu, 12 April 2017

PROFESIONALISME DOSEN

Profesionalisme Dosen

Fungsi  Dosen
Menrutu Makmun (1996) dosen sebagai tenaga edukatif mempunyai posisi yang strategis dan peran kontributif yang signifikan dalam keberhasilan upaya pembangunan yang terarah kepada peningkatan taraf kualitas peradaban dan martabat hidup masyarakat, bangsa, serta umat manusia pada umumnya.
Dosen adalah individu yang berdasarkan pendidikan dan keahlianya memiliki tugas utama mengajar pada perguruan tinggi, karena dosen sebagai pendidik harus memenuhi kopetensi sebagai pendidik. Yang dimaksud dengan kopetensi adalah suatau pemelikan pembentukan, ketrampilan, dan kemampuan yang dituntut oleh suatu jabatan/pekerjaan dan pekerjaan dosen merupakan suatu profesi.
Jhonson (dalam Makmun, 1996) kopetensi yang harus dimiliki oleh pendidikmempunyai 6 unsur sebagai berikut :
1.      Komponen kinerja (performance Component)
2.      Komponen bahan pengajaran ( Teaching Subject Component)
3.      Komponen proses pengajaran (Teaching process Componenet)
4.      Komponen penyesuaian pribadi (Profesional adjustment Component0
5.      Komponen professional pribadi ( Teaching Profesioanal  Componenet)
6.      Komponen sikap ( Attitude component)
Merujuk dari pendapat diatas maka dosen harus mempunyai kemampuan dan ketampilan  dalam melaksanakan proses belajar mengajar di perguruan tinggi.
            Seorang dosen harus mempunyai penampilan kerja yang menunjukan mempunyai pengetahuan, ketrampilan dalam melakukan pekerjaan tertentu secara rasional, menguasai perangkat pengetahuan ( teori, konsep, prinsip, kaidah, serta generalisasi data dan informasi) yang berkaitan dengan tugas, pekerjaannya disamping meguasai metode  dan teknik, prosedur dan mekanisme, sarana, serta instrument tentang cara bagaimana melakukan pekerjaannya. Seorang dosen harus memiliki motivasi dan aspirasi unggulan dalam melaksanakan tugasnya serta memiliki kewenangan yang memencar atas penguasaan perangkat kopetensinya, sehingga dosen dikatakan sebagai desainer masa depan.
Profesi Dosen di Perguruan Tinggi
Meneurut makmun (1996) telaah mengenai istilah profesi mengandung sedikitnya tiga makna dan pengertian, yaitu :
1.      Mengungkap suatu kepercayaan.
2.      Keyakinan atas suatu kebenaran.
3.      Kredibilitas seseorang.

     Profesi mempunyai makna kepercayaan sesorang karena pengetahuan, pengalaman, dan nilai yang ada pada sesorang. Profesi adalah pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian dari pada anggotanya. Suatu pekerjaan profesi tidak dapat dilakukan oleh orang yang tida terlatih atau dipersiapkan untuk pekerjaan tersebut. Professional memiliki dua pengertian :
1.      Orang yang menduduki suatu jabatan atau profesi.
2.      Penampilan sesorang dalam melakukan pekerjaan yang sesuai dengan profesinya.
Profesionalisme merupakan sikap para anggota profesi terhadap profesinya serta tingkat pengetahuan dan keahlian yang mereka miliki untuk melasanakan tugas dalam profesiya. Profesionalisme dapat pula diartikan  proses peningkatan kualifikasi maupun kemampuan  para anggota profesi dalam mencapai standar dalam kemampuanya sebagai anggota profesi. Adapun anggota professional adalah suatu proses pengembangan professional baik yang dilaksanakan melalui pendidikan ataupyn melalui pelatihan.
Hornby (dalam makmun, 1996) menyatakan bahwa profesi pada hakekatnya merupakan pekerjaan tertentu yang meenurut persyaratan khusus dan istimewa sehingga meyakinan dan memperoleh kepercayaan dari pihak yang memerlukannya.
Sanusi (1991) mengemukakan cirri-cirri pekerjaan yang dianggap sebagai profesi  :
1.      Memiliki fungsi dan signifikan sosial secara krusial
2.      Memiliki ketrampilan atau keahlian tertentu
3.      Mampu memperolah masalah dengan metode ilmiah
4.      Didasarkan pada suatu disiplin ilmu tertentu yang jelas dan eksplisit
5.      Memiliki kode etik
6.      Membutuhkan masa pendidikan dan atau latihan yang lama
7.      Memiliki kebebasan untuk memberikan judgement
8.      Memiliki tanggung jawab otonomi
9.      Mendapat pengakuan dari masyarakat

Menurut PP Nomor 60 tahun 1999, dosen adalah tenaga kependidikan/pendidik pada perguruan tinggi yang khusus diangkat dengan tugas utama mengajar. Dosen diperguruan tinggi merupakan instrumental input guna mencapai tujuan perguruan tinggi, sehingga mereka berupaya memastikan untuk melaksanakan tugas-tugas akademik secara sesuai dengan yang telah ditetapkan.

  Kompetensi Profesionalisme  Dosen
      Salah satu teori yang dapat dijadikan landasan terbentuknya kompetensi seseorang adalah teori medan yang dirintis oleh Kurt Lewin. Kurt Lewin mengembangkan teori ini dengan memosisikan sesorang akan memperoleh kompetensi karena medan gravitasi disekitarnya yang turut membentuk potensi sesorang secara individu. Artinya kompetensi individu dipengaruhi dan dibentuk oleh lingkungannya yang dalam pandangan teknologi pembelajaran lingkungan tersebut diposisikan sebagai sumber belajar. Selain itu sistem informasi yang diperoleh seseorang dari lingkungannya berupa pengalaman yang diperoleh secara empiris melalui observasi, pengetahuan ilmiah yang diterimanya dari pendidikan formal, dan ketrampilan yang yang dilakukannya secara mandiri turut mewarnai pembentukan kompetensi dirinya.
      Dengan kompetensi yang dimiliki individu, ia dapat melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan dan kehendaknya. Meskipun demikian kehendak yang dilakukan individu tersebut tetap didasarkan pada aturan atau norma yang berlaku.
      Menurut Munsyi, kompetensi mengacu pada kemampuan melaksankan sesuatu yang diperoleh melalui pendidikan. Kompetensi menunjuk pada performance dan perbuatan yang rasional untuk memenuhi spesifikasi tertentu dalam meaksanakan tugas-tugas kependidikan. Dikatakan rasional karena mempunyai arah dan tujuan. Performance merupakan prilaku nyata dalam arti tidak hanya diamati, tetapi juga meliputi perihal yang tidak tampak.
      Inti dari pengertian kompetensi menurut Fullen lebih cendrung pada apa yang dapat dilakukan seseorang/ masyarakat daripada apa yang mereka ketahui (what people what they know). Hal ini ditandaskan oleh Houston yang dikuitp oleh Samana bahwa kompetensi adalah kemampuan yang ditampilkan oleh guru dalam melaksanakan kewajibannya memberikan pelayanan pendidikan kepada masyarakat.
      Menurut Littrell kompetensi adalah kekuatan mental dan fisik untuk melakukan tugas atau ketrampilan yang dipelajari melalui latihan dan praktik. Sedangkan menurut Stephen J. Kenezevich, kompetensi adalah kemampuan-kemampuan untuk mencapai tujuan organisasi. Kemampuan menurut Kenezevich merupakan hasil dari pada penggabungan dari kemampuan-kemampuan yang banak jenisnya, dapat berupa pengetahuan, ketrampilan, kepemimpinan, kecerdasan, dan lain-lain yang dimiliki sesorang untuk mencapai tujuan organisasi.
      Pengertian dasar kompetensi adalah kemampuan dan kecakapan seseorang yang dinyatakan kompeten di bidang tertentu adalah seseorang yang menguasai kecakapan kerja atau keahlian selaras dengan tuntutan bidang kerja yang bersangkutan.
Lebih  lanjut Spencer membagi lima karakteristik kompetensi sebagai berikut :
1.      Motif, yaitu sesuatu yang orang pikirkan dan inginkan yang menyebabkan sesuatu. Contohnya,  orang yang termotivasi dengan prestasi akan mengatasi segala hambatan untuk mencapai tujuan, dan bertanggung jawab melaksanakanya.
2.      Sifat, yaitu karakteristik fisik tanggapan konsisten terhadap situasi atau informasi. Contoh penglihatan yang baik adalah kompetensi sifat fisik bagi seorang pilot. Begitu halnya dengan control diri emosional dan inisiatif adalah lebih kompleks dalam merespon situasi secara konsisten. Kompetensi sifat inipun sangat dibutuhkan dalam memecahkan masalah dan melaksanakan panggilan tugas.
3.      Konsep diri, yaitu sikap, nilai, dan image diri seseorang. Contohnya, kepercayaan diri. Kepercayaan diri atau keyakinan seseorang agar dia menjadi efektif dalam semua situasi adalah bagian dari konsep diri.
4.      Penegetahuan yaitu informasi yang dimiliki seseorang dalam bidang tertentu. Contohnya, pengetahuan ahli bedah terhadap ahli sraf dalam tubuh manusia.

5.      Ketrampilan yaitu kemampuan untuk melakukan tugas-tugas yang berkaitan dengan fisik dan mental. Contoh kemampuan fisik adalah ketrampilan programmer computer untuk menyusun data secara beraturan. Sedangkan kemampuan berpikir analitis dan konseptual adalah berkaitan dengan kemampuan mental atau kognetif seseorang.

Sumber :
http://jais-amq.blogspot.co.id/2010/05/profesionalisme-dosen.html?m=1

PROFESIONALISME PUSTAKAWAN

Pendahuluan

Istilah kompetensi dan professional adalah dua modal yang harus dimiliki oleh setiap orang dalam menjalankan aktivitas profesisnya, baik itu pegawai negeri, pegawai swasta maupun para wira usahawan. Kompetensi berkaitan dengan bakat dan kemampuan seseorang dalam suatu profesi (pekerjaan) yang memiliki sifat interpersonal (alamiah). Misalnya ketika seseorang berkompeten di bidang perpustakaan, tentunya dia sudah memiliki bakat di dalam ilmu tersebut, misalnya membuat katalog, nomor klasifikasi, konsultan pustakawan, atau analis subjek. Pembelajaran dan pelatihan hanyalah ilmu untuk memperdalam kompetensi tersebut. Sedangkan profesionalisme lebih bersifat Institutional (bawaan), artinya bahwa professional itu ada ketika seseorang  itu memiliki keahlian untuk menguasai dan memahami bidang profesi yang sesuai dengan visi dan misi dari lembaganya. Tidak mungkin orang bekerja di lembaga Perpustakaan, keahliannya dalam bidang Pertanian. Meskipun orang itu ingin belajar Ilmu Perpustakaan sangat susah untuk memahami dan mengembangkannya. Karena profesionalisme adalah satu rangkaian profesi yang keahliannya disesuaikan dengan tujuan dan visi kegiatan dari lembaga tersebut.
Bagi pustakawan, semangat kompetensi dan profesionalisme adalah kebutuhan dasar yang harus dikuasai. Karena keduanya, adalah roda penggerak aktif dalam menjalankan fungsi dan tugasnya dalam bidang kepustakawanaan yang objek dari kegiatannya meliputi sumber-sumber informasi dan pengetahuan yang tujuannya dilayankan langsung ke pengguna (masyarakat). Bagaimana Pustakawan bisa melayani kebutuhan masyarakat yang begitu sangat kompleks dan beragam, kalau tidak memiliki kompetensi dan profesionalisme yang tinggi dalam menyediakan sumber informasi, dan apa mungkin masyarakat dapat terlayani dengan baik? Listiani (2007:81) menyampaikan beragam pengguna memerlukan informasi yang berbeda, mengharuskan pustakawan meningkatkan kemampuan kompetensinya dengan menguasai tiga macam pengetahuan antara lain:
1.      Pengetahuan buku sumber informasi (bibliograpic control)
2.      Pengetahuan pemilihan media yang tepat (a sense media)
3.      Pengetahuan isi koleksi
Ketiga pengetahuan diatas menurut Bernard Vavrek (Listiani, 2004: 2) merupakan suatu sarana atau prasyarat untuk mencapai tujuan yang diinginkan yaitu menjembatani dunia pengetahuan dengan para pengguna perpustakaan. Kualitas pustakawan diukur dari pemahaman yang dimiliki mengenai visi dan misi, kemampuan menjabarkan program, kemampuan identifikasi kebutuhan pengguna, kemampuan memilih dan memilah berbagai jenis informasi aktual, kemampuan mengolah informasi secara sistematis sehingga mudah ditemukan serta kemampuan mengkomunikasikan sumber-sumber informasi yang dimiliki.
Meskipun Pustakawan hanya belajar yang sifatnya technical services, tak ada salahnya pula mempelajari disiplin ilmu lainnya. Pekerjaan teknis itu misalnya mengenai katalogisasi, klasifikasi, dan manajemen perpustakaan, disaat itu pula dia harus mencari pengetahuan dan pengalaman baru. Kompetensi ini diperlukan agar pustakawan bisa dan mampu memanfaatkan peluang dari setiap pekerjaan pokoknya. Ketika pustakawan membuat katalog dan nomor klasifikasi, ada ilmu lain yang bisa bermanfaat dan menunjang karir-nya, misalnya dia bisa mengetahui topik-topik dan bidang koleksi apa saja yang sudah disediakan perpustakaan, dan misalnya belum ada kita bisa mencari sumber referensi lain dari website digital lembaga perpustakaan lainnya. Terkait dengan keahlian yang dimiliki oleh pustakawan professional,  paling tidak seorang pustakawan harus menekuni dan mendalami salah satu bagian dari ilmu perpustakaan. Misalnya pustakawan yang ahli membuat Katalog dan klasifikasi tentunya dia harus memahami penggunaan pedoman LC (Library of Congres) atau DDC (Dewey Decimal Classification). Begitu juga kalau dia berminat menjadi konsultan pustakawan, tentunya harus sering membaca topic-topik dari bidang yang diminatinya. Meskipun secara teknis dan prakteknya kurang ahli, tapi dari segi pengetahuan dan manajemen dia ahli dan terampil memanfaatkannya.
Kompetensi Pustakawan
Kompetensi diartikan sebagai tolok ukur guna mengetahui sejauh mana kemampuan seseorang menggunakan pengetahuan dan kemampuannya. Ada dua jenis kompetensi yang diperlukan oleh pustakawan yaitu kompetensi profesional dan perorangan (Salmubi,2005). Kompetisi ini dibagi menjadi tiga kelompok yaitu Pertama, kompetisi sebagai mekanisme strategi. Kedua, kompetisi sebagai tindakan yaitu kontrol atas produksi dari pengetahuan produk yang dimiliki. Ketiga, kompetisi sebagai budaya yaitu cara atau perilaku yang dilakukan untuk merespon pengaruh sistem pasar.
Menurut Wendy Carlin (2001 : 67-68) ada dua cara utama dimana kompetisi bekerja. Pertama melalui insentif (incentives) harapan kemajuan dalam teknologi, organisasi dan upaya yang dilakukan perusahaan dengan memberikan tambahan penghasilan atau pengembangan kapasitas pustakawan. Kedua melalui seleksi (selection), melakukan ujian kompetensi pustakawan dalam periode tertentu.
Berbicara masalah kompetensi pustakawan di Indonesia sampai saat ini belum memiliki pedoman yang jelas untuk dijadikan acuan, baik itu indikatornya, ukurannya, sistemnya, maupun aturan mainnya bagaimana? Dan siapa saja pihak yang berwenang untuk menguji dan menilai kompetensi ini; Apakah pejabat fungsional Pustakawan yang ditunjuk, Perpustakaan Nasional, atau Lembaga lain yang berkompeten dan berkepentingan dibidang ilmu tersebut. Serta, pedoman mana yang akan digunakan, apakah UU Perpustakaan No.43 Tahun 2007, Keputusan MENPAN No. 132 Tahun 2002 tentang Jabatan Fungsional Pustakawan, atau Peraturan Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008.
Saat ini, para pustakawan di Perpustakaan Nasional sedang bekerja keras untuk membuat standar kompetensi ini, mengingat Perpustakaan Nasional sebagai pembina untuk semua pustakawan dan perpustakaan di Indonesia. Selain standar pustakawan, harus ada standar koleksi, sarana dan prasarana, pelayanan, penyelenggaraan dan pengelolaan. Tugas berat tetapi mulia ini yang telah diamatkan oleh UU No.43/2007 tentang perpustakaan, bahwa pustakawan harus memenuhi kualifikasi sesuai dengan standar nasional (pasal 11). Kalau profesi dosen dan guru sudah atau sedang dilakukan sertifikasi, dengan melakukan pemberkasan portofolio, bagitu juga halnya dengan Pustakawan untuk mengumpulkan angka kredit yang disesuaikan dengan besaran angka yang dibutuhkan harus dicapai dalam setiap jenjang golongan untuk mendapatkan kenaikan pangkat dan tunjangan profesi. Misalnya, Pustakawan golongan IIIa akan naik menjadi IIIb, maka si pustakawan harus mengumpulkan angka kredit sebesar 50 – 70 point, sesuaikan dengan persyaratan yang ditentukan.
Selain itu, Pustakawan juga harus berkompeten dalam penguasaan ICT. Hernandono (2005:4) mengatakan bahwa problem yang dihadapi oleh pustakawan madya dan utama adalah kurang menguasai bahasa asing dan kurang akrab dengan teknologi komunikasi dan informasi (ICT). Hal ini mengakibatkan pustakawan menjadi “kelompok marginal” dalam masyarakat informasi, karena komunikasi lebih sering memanfaatkan teknologi informasi. Intinya dalam masyarakat informasi ini pustakawan harus dapat menyesuaikan diri dan cepat tanggap dengan perubahan yang terjadi disekitarnya.
Berkaitan dengan aplikasi ICT ini, pustakawan perlu mempunyai standar kompetensi yang paling dasar, yakni: (1) memiliki kemampuan dalam penggunaan komputer (komputer literacy), (2) kemampuan menguasai basis data (data base), (3) kemampuan dan penguasaan peralatan TI, (4) kemampuan dalam penguasaan teknologi jaringan, (5) memiliki kemampuan dan penguasaan internet, serta (6) kemampuan dalam berbahasa Inggris.
Sebenarnya Masalah kompetensi ini tidak hanya menyangkut masalah penguasaan ICT dan Angka kredit semata, ada unsur lain yang wajib dilakukan pustakawan, misalnya aktif dalam organisasi Kepustakawanan, seperti IPI (Ikatan Pustakawan Indonesia), FPSI (Forum Perpustakaan Sekolah Indonesia), ISIPII (Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi Indonesia), dan organisasi pusdokinfo lainnya.
Di Indonesia, budaya kompetisi pustakawan masih sangat rendah. Hal ini dapat dilihat dari praktek pustakawan yang berlangsung hampir seluruh perpustakaan, hanya beberapa pesan saja yang membawa pengguna dari kesadaran (awareness) ke pembelian, belum pada pemuasan kebutuhan pengguna. Pustakawan masih sangat sederhana dan selalu mendasarkan diri hanya pada kepentingan pribadi, bahkan lupa bahwa perpustakaan sebagai sumber informasi. Misalnya sikap ketidakpeduliaan, berperilaku seenaknya, tidak berperan aktif dalam pendayagunaan informasi yang tersedia di perpustakaan. Penelitian Loehoer Widjajanto dkk (Listiani, 2004: 4) menemukan hanya 29% pustakawan yang melakukan penelusuran ke perpustakaan lain demi kepuasaan penggunanya.
Profesionalisme Pustakawan
Profesionalisme pustakawan mempunyai arti pelaksanaan kegiatan perpustakaan yang didasarkan pada keahlian dan rasa tanggungjawab sebagai pengelola perpustakaan. Keahlian menjadi faktor penentu dalam menghasilkan hasil kerja serta memecahkan masalah yang mungkin muncul. Sedangkan tanggungjawab merupakan proses kerja pustakawan yang tidak semata-mata bersifat rutinitas, tetapi senantiasa dibarengi dengan upaya kegiatan yang bermutu melalu prosedur kerja yang benar. Ciri-ciri profesionalisme seorang pustakawan dapat dilihat berdasarkan karakteristik-karakteristik sebagai berikut;
1.      memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan, kecakapan dan keahlian yang mumpuni dalam bidangnya
2.      memiliki tingkat kemandirian yang tinggi
3.      memiliki kemampuan untuk berkolaborasi dan bekerja sama
4.      senantiasa berorientasi pada jasa dan menjunjung tinggi kode etik pustakawan
5.      senantiasa melihat ke depan atau berorientasi pada masa depan .
Profesionalisme dalam setiap pekerjaan pustakawan saat ini mutlak dibutuhkan , dengan memiliki cara kerja pelayanan dengan berprinsip pada people based service (berbasis pengguna) dan service excellence (layanan prima) yang hasilnya diharapkan dapat memenuhi kepuasan penggunanya. Dampak positifnya adalah peran pustakawan semakin diapresiasi oleh banyak kalangan dan citra lembaganya (perpustakaan) akan menjadi naik.
Ironinya, pustakawan masa kini, profesionalisme itu hanya untuk memperkaya diri dan bukan untuk kemajuan lembaganya. Faktanya, setiap keahlian yang dimilikinya hanya berorientasi pada nilai ekonomi semata. Sedangkan untuk kemajuan lembaganya hanya sebagian kecil saja yang bisa disumbangkan. Hal ini tentunya menjadi tantangan bersama untuk membenahi sistem kebijakan pola karir dan manajemen dalam pengembangan sumber daya pustakawannya. Tuntutan itu adalah hal yang wajar, karena profesi pustakawan ini masih dimarginal-kan, baik dari segi ekonomi (kesejahteraan), keilmuan, maupun perhatian dari pemerintah. Secara kelembagaan, pengembangan karir bagi pustakawan profesional ini harus direkonstruksi  sebagai upaya pembenahan diri profesinya yang lebih berkualitas.
Pustakawan sebagai profesi semestinya memiliki keinginan tinggi meningkatkan produktivitas dan kinerjanya untuk memberikan manfaat bagi yang membutuhkan. Keinginan yang tidak terlepas dari kebutuhan dan harapan individu dimana dia bekerja. Oleh sebab itu perilaku kompetisi dan profesionalisme ini menjadi salah satu cara untuk mencapai keinginan tersebut.
Sumber :
https://pustakapusdokinfo.wordpress.com/2011/02/21/menumbuhkan-kompetensi-dan-profesionalisme-pustakawan-sebuah-catatan/

Kamis, 30 Maret 2017

Kebudayaan Suku Jawa Tengah

Suku Jawa merupakan salah satu suku terbesar yang berdiam di negara Indonesia. Sebagai buktinya, kemana pun Anda melangkah kan kaki ke bagian pelosok penjuru negeri ini, Anda pasti akan menemukan suku-suku Jawa yang mendiami kawasan tersebut meskipun terkadang jumlahnya minorotas,dengan kata lain di mana  ada kehidupan di seluruh Indonesia Orang Jawa selalu ada.
Suku Jawa hidup dalam lingkungan adat istiadat yang sangat kental. Adat istiadat Suku Jawa masih sering digunakan dalam berbagai kegiatan masyarakat. Mulai masa-masa kehamilan hingga kematian. Di dalam hal ini di manapun Suku Jawa berada akan selalu dilaksanakan dan di jadkan  Ugeman atau Pathokan dalam kehidupannya.
Banyak yang bisa di gali dari literatur literatur yang sdh ada bahwa suku jawa punya banyak keaneka ragaman ciri khas dan budaya beserta tradisi tradisinya
Dan bila kita seumpama sebagai suku lain  yang ada di Indonesia akan sangat dengan mudahnya berinteraksi dengan suku jawa di karenakan suku ini mempunyai sifat dan karakter yang sangat santun dalam bermasyarakat dengan di terimanya  suku Jawa sebagai bagian dari anggota masyarakat oleh  suku lain di seluruh Indonesia.

Jawa Tengah adalah sebuah provinsi Indonesia yang terletak di bagian tengah Pulau Jawa. Provinsi ini berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat di sebelah barat, Samudra Hindia dan Daerah Istimewa Yogyakarta  di sebelah selatan, Jawa Timur di sebelah timur, dan Laut Jawa di sebelah utara. Luas wilayah nya 32.548 km², atau sekitar 25,04% dari luas pulau Jawa. Provinsi Jawa Tengah juga meliputi Pulau Nusakambangan di sebelah selatan (dekat dengan perbatasan Jawa Barat), serta Kepulauan Karimun Jawa di Laut Jawa.
Pengertian Jawa Tengah secara geografis dan budaya kadang juga mencakup wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Jawa Tengah dikenal sebagai "jantung" budaya Jawa. Meskipun demikian di provinsi ini ada pula suku bangsa lain yang memiliki budaya yang berbeda dengan suku Jawa seperti suku Sunda di daerah perbatasan dengan Jawa Barat. Selain ada pula warga Tionghoa-Indonesia, Arab-Indonesia dan India-Indonesia yang tersebar di seluruh provinsi ini. Berikut beberapa kebudayaan pada suku Jawa

GAMELAN JAWA
Gamelan Jawa merupakan Budaya Hindu yang digubah oleh Sunan Bonang, guna mendorong kecintaan pada kehidupan Transedental (Alam Malakut)”Tombo Ati” adalah salah satu karya Sunan Bonang. Sampai saat ini tembang tersebut masih dinyanyikan dengan nilai ajaran Islam, juga pada pentas-pentas seperti: Pewayangan, hajat Pernikahan dan acara ritual budaya Keraton.

WAYANG KULIT
Kesenian wayang dalam bentuknya yang asli timbul sebelum kebudayaan Hindu masuk di Indonesia dan mulai berkembang pada jaman Hindu Jawa. Pertunjukan Kesenian wayang adalah merupakan sisa-sisa upacara keagamaan orang Jawa yaitu sisa-sisa dari kepercayaan animisme dan dynamisme. Menurut Kitab Centini, tentang asal-usul wayang Purwa disebutkan bahwa kesenian wayang, mula-mula sekali diciptakan oleh Raja Jayabaya dari Kerajaan Mamenang / Kediri.

KERIS JAWA
Keris dikalangan masyarakat di jawa dilambangkan sebagai symbol “ Kejantanan “ dan terkadang apabila karena suatu sebab pengantin prianya berhalangan hadir dalam upacara temu pengantin, maka ia diwakili sebilah keris. Keris merupakan lambang pusaka.

UKIRAN ASLI JEPARA  
Para pengukir jepara pandai menyesuaikan diri dengan gaya ukiran baru. Mereka tidak hanya membuat gaya ukiran khas Jepara saja tapi ukiran lainnya yang tak kalah menarik. Meskipun ukiran Jepara beragam, sebaiknya kita tidak melupakan gaya ukiran khas Jepara. Biasanya disebut ornamen Jepara. Meskipun tak ada sebutan khusus, tapi ia dapat dikenali dari ciri khasnya. Ukiran Jepara mengambil bentuk dedaunan. Ada yang mengatakan itu adalah daun tanaman wuni.

BOGANA ASLI TEGAL
 Di Jawa, Nasi Bogana biasanya disajikan pada saat acara-acara tertentu, seperti pesta perkawinan atau peringatan-peringatan lainnya. Tapi, umumnya makanan ini sering juga disajikan saat acara kumpul keluarga atau acara-acara arisan. Dalam acara pesta perkawinan, Nasi Bogana disajikan secara terpisah.

BEDHAYA KETAWANG
Bedhaya Ketawang adalah tarian sakral yang rutin dibawakan dalam istana sultan Jawa (Keraton Yogyakarta dan Keraton Solo). Disebut juga tarian langit, bedhaya ketawang merupakan suatu upacara yang berupa tarian dengan tujuan pemujaan dan persembahan kepada Sang Pencipta. Pada awal mulanya di Keraton Surakarta tarian ini hanya diperagakan oleh tujuh wanita saja. Namun karena tarian ini dianggap tarian khusus yang amat sacral, jumlah penarik kemudian ditambah menjadi sembilan orang. Sembilan penari terdiri dari delapan putra-putri yang masih ada hubungan darah dan kekerabatan dari keraton serta seorang penari gaib yag dipercaya sebagai sosok Nyai Roro Kidul. Tarian ini diciptakan oleh Raja Mataram ketiga, Sultan Agung (1613-1646) dengan latar belakang mitos percintaan raja Mataram pertama (Panembahan Senopati) dengan Kanjeng Ratu Kidul (penguasa laut selatan). Sebagai tarian sakral, terdapat beberapa aturan dan upacara ritus yang harus dijalankan oleh keraton juga para penari.

TARIAN JAWA
 Tarian merupakan bagian yang menyertai perkembangan pusat baru ini. Ternyata pada masa kerajaan dulu tari mencapai tingkat estetis yang tinggi. Jika dalam lingkungan rakyat tarian bersifat spontan dan sederhana, maka dalam lingkungan istana tarian mempunyai standar, rumit, halus, dan simbolis. Jika ditinjau dari aspek gerak, maka pengaruh tari India yang terdapat pada tari-tarian istana Jawa terletak pada posisi tangan, dan di Bali ditambah dengan gerak mata.
Tarian yang terkenal ciptaan para raja, khususnya di Jawa, adalah bentuk teater tari seperti wayang wong dan bedhaya ketawang. Dua tarian ini merupakan pusaka raja Jawa. Bedhaya Ketawang adalah tarian yang dicipta oleh raja Mataram ketiga, Sultan Agung (1613-1646) dengan berlatarbelakang mitos percintaan antara raja Mataram pertama (Panembahan Senopati) dengan Kangjeng Ratu Kidul (penguasa laut selatan/Samudra Indonesia) (Soedarsono, 1990). Tarian ini ditampilkan oleh sembilan penari wanita.

BATIK
Kesenian batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluarga kerajaan di masa lampau, khususnya di Kerajaan Mataram kemudian Kerajaan Keraton Solo dan Yogyakarta. Awalnya batik dikerjaan terbatas dalam keraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja, keluarganya, serta para pengikutnya. Oleh karena banyaknya pengikut raja yang tinggal di luar keraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar keraton untuk dikerjakan di tempat masing-masing. Seiring berjalannya waktu, kesenian batik ini ditiru oleh rakyat setempat dan kemudian menjadi pekerjaan kaum wanita di dalam rumahnya untuk mengisi waktu senggang. Selain itu, batik yang awalnya hanya untuk keluarga keraton, akhirnya menjadi pakaian rakyat yang digemari pria dan wanita.

Dahulu, bahan kain putih yang dipergunakan untuk membatik adalah hasil tenunan sendiri. Sementara bahan pewarnanya diambil dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia. Beberapa bahan pewarna tersebut antara lain pohon mengkudu, soga, dan nila. Bahan sodanya dibuat dari soda abu dan garamnya dari tanah lumpur. Sentra kerajinan batik tersebar di daerah Pekalongan, Kota Surakarta, dan Kab. Sragen.

Rabu, 22 Maret 2017

KODE ETIK JURNALISTIK

WARTAWAN itu kaum profesional, seperti dokter, pengacara, dan profesi lain yang memerlukan keahlian (expertise) khusus. Sebagaimana layaknya kalangan profesional, wartawan juga memiliki kode etik atau etika profesi sebagai pedoman dalam bersikap selama menjalankan tugasnya (code of conduct).


Pasal 7 ayat (2) UU No. 40/1999 tentang Pers menyatakan "Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik". Dalam penjelasan disebutkan, yang dimaksud dengan Kode Etik Jurnalistik adalah Kode Etik yang disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers.

Pengertian Kode Etik Jurnalistik

Menurut UU No. 40/1999 tentang Pers, kode etik jurnalistik adalah himpunan etika profesi wartawan.

Dalam buku Kamus Jurnalistik (Simbiosa Bandung 2009) saya mengartikan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) atau Kannos of Journalism sebagai pedoman wartawan dalam melaksanakan tugasnya sebagai landasan moral atau etika profesi yang bisa menjadi pedoman operasional dalam menegakkan integritas dan profesionalitas wartawan.

Untuk wartawan Indonesia, kode etik jurnalistik pertama kali dikeluarkan dikeluarkan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sebagai organisasi tunggal wartawan seluruh Indonesia pasa masa Orde Baru. 

Di Indonesia dikenal luas tiga organisasi wartawan, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Reformasi.

Ketiga organisasi profesi ini memiliki sejarah masing-masing. Pun dalam aplikasinya, masing-masing memiliki standar etik profesi/kode etik yang susunannya berbeda, namun tetap menekankan hal yang sama.

Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), adalah organisasi wartawan yang pertama kali berdiri di Indoensia. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, adalah organisasi wartawan kedua yang berdiri di Indonesia. Lahirnya AJI menandai sebuah entitas perlawan dari ranah yang lebih konkrit, yakni pers Indonesia yang merdeka dan independen. Setelah lama menjadi organisasi bawah tanah, AJI kemudian resmi dan bisa eksis hingga kini. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Reformasi, adalah oragnisasi yang persis berdiri sejak era reformasi. Dibidani wartawan senior dan penyair Boediman S. Hartoyo (Alm.) organisasi ini dibentuk wartawan yang bersebarangan dengan sikap PWI.

Pada sebuah pertemuan bersama, ketiga organisasi ini bermufakat untuk menyatukan secara umum kode etik masing-masing menjadi sebuah kode etik yang dikenali sebagai Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI).

Kendati begitu, ketiga organisasi, secara internal, masih tetap menggunakan kode etik masing-masing sebagai standar etik organisasi.

Kode Etik Jurnalistik PWI

KEJ pertama kali dikeluarkan dikeluarkan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). Isi KEJ antara lain menetapkan.
1.      Berita diperoleh dengan cara yang jujur.
2.      Meneliti kebenaran suatu berita atau keterangan sebelum menyiarkan (check and recheck).
3.      Sebisanya membedakan antara kejadian (fact) dan pendapat (opinion).
4.      Menghargai dan melindungi kedudukan sumber berita yang tidak mau disebut namanya. Dalam hal ini, seorang wartawan tidak boleh memberi tahu di mana ia mendapat beritanya jika orang yang memberikannya memintanya untuk merahasiakannya.
5.      Tidak memberitakan keterangan yang diberikan secara off the record (for your eyes only).
6.      Dengan jujur menyebut sumbernya dalam mengutip berita atau tulisan dari suatu suratkabar atau penerbitan, untuk kesetiakawanan profesi.

Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI)

Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) dirumuskan, ditetapkan, dan ditandatangani 6 Agustus 1999 oleh 24 organisasi wartawan Indonesia di Bandung, lalu ditetapkan sebagai Kode Etik Jurnalistik yang berlaku bagi seluruh wartawan Indonesia oleh Dewan Pers --sebagaimana diamanatkan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers-- melalui SK Dewan Pers No. 1/SK-DP/2000 tanggal 20 Juni 2000.

KEWI meliputi tujuh hal sebagai berikut:
1.      Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar;
2.      Wartawan Indonesia menempuh tatacara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber informasi;
3.      Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan fakta dengan opini, berimbang, dan selalu meneliti kebenaran informasi serta tidak melakukan plagiat;
4.      Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis, cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila;
5.      Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi;
6.      Wartawan Indonesia memiliki Hak Tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai kesepakatan;
7.      Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani Hak Jawab.

Pengawasan dan penetapan sanksi atas pelanggaran kode etik tersebut sepenuhnya diserahkan kepada jajaran pers dan dilaksanakan oleh organisasi yang dibentuk untuk itu.

Namun, jika pelanggarannya mengarah ke Delik Pers, maka proses hukumlah yang diberlakukan. Delik pers yang banyak terjadi adalah Pencermaran Nama Baik.

Kode Etik yang Sering Dilanggar

Menurut data Dewan Pers, wartawan sering melakukan pelanggaran kode etik jurnalistik (Sumber). Bentuk pelanggarannya antara lain:

1.      Berita tidak berimbang, berpihak, tidak ada verifikasi, dan menghakimi.
2.      Mencampurkan fakta dan opini dalam berita
3.      Data tidak akurat
4.      Keterangan sumber berbeda dengan yang dikutip di dalam berita
5.      Sumber berita tidak kredibel
6.      Berita mengandung muatan kekerasan.

Tampaknya data tersebut perlu ditambah dengan maraknya penyiaran informasi cabul seiring dengan fenomena media online yang cenderung menjadi koran kuning.


Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.

Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat.

Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik:

Pasal 1

Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.

Penafsiran

a.       Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
b.      Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.

c.       Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.

d.      Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.

Pasal 2

Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.

Penafsiran

Cara-cara yang profesional adalah:

a.       menunjukkan identitas diri kepada narasumber;

b.      menghormati hak privasi;

c.       tidak menyuap;

d.      menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;

e.       rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;

f.        menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;
g.      tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri;

h.      penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.


Pasal 3

Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

Penafsiran

a.       Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu.

b.      Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.

c.       Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.

d.      Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.

Pasal 4

Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

Penafsiran

a.       Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.

b.      Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.

c.       Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.

d.      Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
e.       Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.

Pasal 5

Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

Penafsiran

a.       Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.

b.      Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.

Pasal 6

Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.

Penafsiran

a.       Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.
b.      Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.

Pasal 7

Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.

Penafsiran

a.       Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya.

b.      Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber.


c.       Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya.

d.      “Off the record” adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.

Pasal 8

Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.


Penafsiran

a.       Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas.

b.      Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.

Pasal 9

Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.

Penafsiran

a.       Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati.
b.      Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik.

Pasal 10

Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.

Penafsiran

a.       Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar.
b.      Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok.

Pasal 11

Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.

Penafsiran

a.       Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.

b.      Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.

c.       Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.