WARTAWAN
itu kaum profesional, seperti dokter, pengacara, dan profesi lain yang
memerlukan keahlian (expertise) khusus. Sebagaimana layaknya kalangan
profesional, wartawan juga memiliki kode etik atau etika profesi sebagai
pedoman dalam bersikap selama menjalankan tugasnya (code of conduct).
Pasal
7 ayat (2) UU No. 40/1999 tentang Pers menyatakan "Wartawan memiliki dan
menaati Kode Etik Jurnalistik". Dalam penjelasan disebutkan, yang dimaksud
dengan Kode Etik Jurnalistik adalah Kode Etik yang disepakati organisasi
wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers.
Pengertian Kode Etik Jurnalistik
Menurut
UU No. 40/1999 tentang Pers, kode etik jurnalistik adalah himpunan etika
profesi wartawan.
Dalam
buku Kamus Jurnalistik (Simbiosa Bandung 2009) saya mengartikan Kode Etik
Jurnalistik (KEJ) atau Kannos of Journalism sebagai pedoman wartawan dalam
melaksanakan tugasnya sebagai landasan moral atau etika profesi yang bisa
menjadi pedoman operasional dalam menegakkan integritas dan profesionalitas
wartawan.
Untuk
wartawan Indonesia, kode etik jurnalistik pertama kali dikeluarkan dikeluarkan
oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sebagai organisasi tunggal wartawan
seluruh Indonesia pasa masa Orde Baru.
Di
Indonesia dikenal luas tiga organisasi wartawan, Persatuan Wartawan Indonesia
(PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, dan Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI) Reformasi.
Ketiga
organisasi profesi ini memiliki sejarah masing-masing. Pun dalam aplikasinya,
masing-masing memiliki standar etik profesi/kode etik yang susunannya berbeda,
namun tetap menekankan hal yang sama.
Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI), adalah organisasi wartawan yang pertama kali berdiri
di Indoensia. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, adalah organisasi
wartawan kedua yang berdiri di Indonesia. Lahirnya AJI menandai sebuah entitas
perlawan dari ranah yang lebih konkrit, yakni pers Indonesia yang merdeka dan
independen. Setelah lama menjadi organisasi bawah tanah, AJI kemudian resmi dan
bisa eksis hingga kini. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Reformasi, adalah
oragnisasi yang persis berdiri sejak era reformasi. Dibidani wartawan senior
dan penyair Boediman S. Hartoyo (Alm.) organisasi ini dibentuk wartawan yang bersebarangan
dengan sikap PWI.
Pada
sebuah pertemuan bersama, ketiga organisasi ini bermufakat untuk menyatukan
secara umum kode etik masing-masing menjadi sebuah kode etik yang dikenali
sebagai Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI).
Kendati
begitu, ketiga organisasi, secara internal, masih tetap menggunakan kode etik
masing-masing sebagai standar etik organisasi.
Kode Etik Jurnalistik PWI
KEJ
pertama kali dikeluarkan dikeluarkan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). Isi
KEJ antara lain menetapkan.
1. Berita
diperoleh dengan cara yang jujur.
2. Meneliti
kebenaran suatu berita atau keterangan sebelum menyiarkan (check and recheck).
3. Sebisanya
membedakan antara kejadian (fact) dan pendapat (opinion).
4. Menghargai
dan melindungi kedudukan sumber berita yang tidak mau disebut namanya. Dalam
hal ini, seorang wartawan tidak boleh memberi tahu di mana ia mendapat
beritanya jika orang yang memberikannya memintanya untuk merahasiakannya.
5. Tidak
memberitakan keterangan yang diberikan secara off the record (for your eyes
only).
6. Dengan
jujur menyebut sumbernya dalam mengutip berita atau tulisan dari suatu
suratkabar atau penerbitan, untuk kesetiakawanan profesi.
Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI)
Kode
Etik Wartawan Indonesia (KEWI) dirumuskan, ditetapkan, dan ditandatangani 6
Agustus 1999 oleh 24 organisasi wartawan Indonesia di Bandung, lalu ditetapkan
sebagai Kode Etik Jurnalistik yang berlaku bagi seluruh wartawan Indonesia oleh
Dewan Pers --sebagaimana diamanatkan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers--
melalui SK Dewan Pers No. 1/SK-DP/2000 tanggal 20 Juni 2000.
KEWI
meliputi tujuh hal sebagai berikut:
1. Wartawan
Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar;
2. Wartawan
Indonesia menempuh tatacara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi
serta memberikan identitas kepada sumber informasi;
3. Wartawan
Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan fakta
dengan opini, berimbang, dan selalu meneliti kebenaran informasi serta tidak
melakukan plagiat;
4. Wartawan
Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis, cabul,
serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila;
5. Wartawan
Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi;
6. Wartawan
Indonesia memiliki Hak Tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar
belakang, dan off the record sesuai kesepakatan;
7. Wartawan
Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta
melayani Hak Jawab.
Pengawasan
dan penetapan sanksi atas pelanggaran kode etik tersebut sepenuhnya diserahkan
kepada jajaran pers dan dilaksanakan oleh organisasi yang dibentuk untuk itu.
Namun,
jika pelanggarannya mengarah ke Delik Pers, maka proses hukumlah yang
diberlakukan. Delik pers yang banyak terjadi adalah Pencermaran Nama Baik.
Kode Etik yang Sering Dilanggar
Menurut
data Dewan Pers, wartawan sering melakukan pelanggaran kode etik jurnalistik
(Sumber). Bentuk pelanggarannya antara lain:
1. Berita
tidak berimbang, berpihak, tidak ada verifikasi, dan menghakimi.
2. Mencampurkan
fakta dan opini dalam berita
3. Data
tidak akurat
4. Keterangan
sumber berbeda dengan yang dikutip di dalam berita
5. Sumber
berita tidak kredibel
6. Berita
mengandung muatan kekerasan.
Tampaknya
data tersebut perlu ditambah dengan maraknya penyiaran informasi cabul seiring
dengan fenomena media online yang cenderung menjadi koran kuning.
Kemerdekaan berpendapat,
berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila,
Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB.
Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan
berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas
kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia
juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman
masyarakat, dan norma-norma agama.
Dalam melaksanakan
fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang,
karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh
masyarakat.
Untuk menjamin
kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar,
wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman
operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta
profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode
Etik Jurnalistik:
Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen,
menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Penafsiran
a.
Independen
berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa
campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik
perusahaan pers.
b. Akurat
berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.
c. Berimbang
berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.
d. Tidak
beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk
menimbulkan kerugian pihak lain.
Pasal 2
Wartawan
Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas
jurnalistik.
Penafsiran
Cara-cara
yang profesional adalah:
a.
menunjukkan
identitas diri kepada narasumber;
b. menghormati
hak privasi;
c. tidak
menyuap;
d. menghasilkan
berita yang faktual dan jelas sumbernya;
e. rekayasa
pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan
keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;
f.
menghormati
pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;
g. tidak
melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai
karya sendiri;
h. penggunaan
cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi
bagi kepentingan publik.
Wartawan Indonesia selalu
menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan
opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Penafsiran
a. Menguji
informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran
informasi itu.
b. Berimbang
adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak
secara proporsional.
c. Opini
yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini
interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.
d.
Asas
praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.
Pasal 4
Wartawan Indonesia
tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Penafsiran
a. Bohong
berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang
tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
b. Fitnah
berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.
c. Sadis
berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.
d.
Cabul
berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara,
grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
e. Dalam
penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan
gambar dan suara.
Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan
menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas
anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Penafsiran
a. Identitas
adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan
orang lain untuk melacak.
b.
Anak
adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.
Pasal 6
Wartawan Indonesia
tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
Penafsiran
a.
Menyalahgunakan
profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi
yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan
umum.
b. Suap
adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain
yang mempengaruhi independensi.
Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak
untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun
keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off
the record” sesuai dengan kesepakatan.
Penafsiran
a. Hak
tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber
demi keamanan narasumber dan keluarganya.
b. Embargo
adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan
narasumber.
c.
Informasi latar belakang adalah segala
informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa
menyebutkan narasumbernya.
d. “Off
the record” adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh
disiarkan atau diberitakan.
Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau
menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang
atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa
serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau
cacat jasmani.
Penafsiran
a. Prasangka
adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara
jelas.
b.
Diskriminasi
adalah pembedaan perlakuan.
Pasal 9
Wartawan
Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali
untuk kepentingan publik.
Penafsiran
a.
Menghormati
hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati.
b. Kehidupan
pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang
terkait dengan kepentingan publik.
Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut,
meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan
permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
Penafsiran
a.
Segera
berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada
teguran dari pihak luar.
b.
Permintaan
maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok.
Pasal 11
Wartawan Indonesia
melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Penafsiran
a. Hak
jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan
atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
b. Hak
koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang
diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
c.
Proporsional
berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar