Rabu, 03 Mei 2017

UU NO. 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI

Telekomunikasi merupakan salah satu infrastruktur penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam rangka mendukung peningkatan berbagai aspek, mulai dari aspek perekonomian, pendidikan, dan hubungan antar bangsa, yang perlu ditingkatkan melalui ketersediaannya baik dari segi aksesibilitas, densitas, mutu dan layanannya sehingga dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Beberapa alasan telekomunikasi perlu diatur adalah:
1.       Telekomunikasi merupakan suatu bidang yang menguasai hajat hidup orang banyak sehingga pengaturannya perlu dilakukan secara khusus agar sesuai dengan Prinsip Ekonomi indonesia yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).
2.       Telekomunikasi mempunyai arti penting karena dapat dipergunakan sebagai suatu wahana untuk mencapai pembangunan nasional dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
3.       Penyelenggaraan telekomunikasi juga mempunyai arti strategis dalam upaya memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, memperlancar kegiatan pemerintahan, mendukung terciptanya tujuan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, serta meningkatkan hubungan antar bangsa.Sejak tahun 1961, industri telekomunikasi di Indonesia telah mengalami kemajuan berarti dengan dimilikinya industri ini secara tunggal oleh perusahaan negara.
Menurut beberapa sumber, faktor yang memicu lahirnya UU No. 36 Tahun 1999 adalah:
1.       Perubahan teknologi;
2.       Krisis Ekonomi, Sosial dan Politik; serta
3.       Dominasi pemerintah dalam penyelenggaraan telekomunikasi dan proyek Nusantara21;
4.       Perubahan nilai layanan telekomunikasi dari barang publik menjadi komoditas;
5.       Teledensity  rendah;
6.       Masuknya modal asing di sektor telekomunikasi;
7.       Keterbatasan penyelenggara pada era monopoli dalam hal pembangunan  infrastruktur;
8.       Pergeseran  paradigma  perekonomian dunia,  dari  masyarakat  industri  menjadi  masyarakat informasi;
9.       Praktik  bisnis yang tidak sehat di sektor telekomunikasi; dan
10.   Kurangnya sumber daya manusia di sektor telekomunikasi.

Berikut ini adalah bunyi UU No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi :
Pasal 20
Setiap penyelenggara telekomunikasi wajib memberikan prioritas untuk pengiriman, penyaluran, dan penyampaian informasi penting yang menyangkut :
a.       keamanan negara;
b.       keselamatan jiwa manusia dan harta benda;
c.       bencana alam;
d.       marabahaya; dan atau
e.       wabah penyakit.

Penjelasan dari pasal 20 tersebut adalah dalam kondisi darurat semacam itu siapa saja yang mampu menyelenggarakan infrastruktur dan layanan telekomunikasi wajib diberikan prioritas dan keleluasaan tanpa harus memenuhi ketentuan umum yang berlaku seperti misalnya harus memiliki izin, menggunakan perangkat yang telah disertifikasi, bekerja di frekuensi yang telah ditentukan bahkan bisa menggunakan teknologi yang mungkin belum diterima atau diadopsi oleh peraturan yang berlaku bahkan mungkin termasuk yang dilarang untuk digunakan pada kondisi normal. Namun dalam kondisi tertentu, misalnya dalam keadaan marabahaya ataupun bencana alam ada kemungkinan terjadi suatu kondisi dimana secara umum infrastruktur dan layanan telekomunikasi lumpuh ataupun tidak tersedia. Sehingga aspek penyelenggaraan, pemanfaatan sumber daya bahkan penggunaan teknologi secara khusus sangat mungkin dapat diabaikan untuk sementara waktu demi untuk memenuhi aspek kemanusiaan yang lebih utama. Bahkan pengecualian ini tidak terbatas pada masalah penyelenggaraan saja melainkan juga menyangkut aspek kewajiban seperti pembayaran, pajak, sertifikasi perangkat dan hingga interkoneksi.
Pada prinsipnya ketentuan terkait dapat dibebaskan sesuai dengan tercantum di dalam Pasal 20 Undang Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa teknologi khusus seringkali digunakan dan dapat menjadi solusi tepat guna untuk mengatasi kondisi darurat namun pada kenyataannya harus berhadapan dengan kondisi eksisting. Misalnya salah satunya adalah karena bertabrakan kepentingan dan atau mengganggu keberlangsungan layanan secara teknis serta keberadaan penyelenggara dan pengguna telekomunikasi lainnya. Sedangkan sanksi bagi Penyelenggara telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 Undang Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Contoh kasus : Pemanfaatan teknologi baru OpenBTS yang saat ini sedang dieksplorasi oleh Tim Yayasan AirPutih. Pada dasarnya OpenBTS adalah solusi untuk memberikan layanan berbasis teknologi selular (voice, SMS dan data) secara terbuka (tidak tergantung pada salah satu operator). Secara prinsip apabila dipandang dari segi regulasi dalam kondisi normal maka OpenBTS adalah stasiun selular tidak resmi yang seharusnya dilarang karena akan mengganggu infrastruktur dan layanan komersial yang telah berjalan. Akan tetapi dalam kondisi darurat misalnya di daerah bencana dimana layanan selular lumpuh atau kapasitasnya terbatas (tidak memadai seperti terjadi di Wasior dan Mentawai) maupun karena lokasi tersebut belum terjangkau oleh operator, maka OpenBTS akan menjadi solusi bagi setiap inisiatif kemanusiaan yang sedang bekerja tanpa mereka harus mengubah atau menggunakan teknologi lain yang memberatkan, terbatas kemampuannya dan mahal misalnya telepon satelit. Artinya dengan teknologi selular yang sama dengan yang mereka pergunakan selama ini sehari-hari dapat tetap dipergunakan di lokasi berkat OpenBTS. Apabila teknologi OpenBTS ini nantinya siap untuk diterapkan di lapangan maka Yayasan Airputih berencana untuk menyampaikan pemberitahuan sekaligus permohonan ijin kepada Kementerian Komunikasi & Informatika agar diberikan dukungan serta ijin khusus dalam hal: 1. Sebagai penyelenggara infrastruktur dan layanan telekomunikasi darurat berbasis selular dan internet di lokasi bencana 2. Memanfaatkan teknologi, frekuensi dan perangkat selular dan internet 3. Melakukan terminasi dan interkoneksi kepada penyelenggara ITKP 4. Dibebaskan dari segala kewajiban sertifikasi, pembayaran pajak, PNBP 5. Meningkatkan daya pancar dan jangkauan layanan termasuk penyebaran. Asalkan masih dalam situasi yang memenuhi definisi Pasal 20 UU 36/1999 maka pada prinsipnya inisiatif infrastruktur dan layanan seperti OpenBTS dapat diselenggarakan oleh siapa saja.


Pasal 32
(1)    Perangkat telekomunikasi yang diperdagangkan, dibuat, dirakit, dimasukkan dan atau digunakan di wilayah Negara Republik Indonesia wajib memperhatikan persyaratan teknis dan berdasarkan izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)    Ketentuan mengenai persyaratan teknis perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Contoh kasus : Menurut Koran tempo Dian ditangkap polisi saat melakukan COD (Cash on Delivery) di City Walk, Tanah Abang, atas penjualan dua buah iPad 3G, Wi-Fi, 64 GB yang di beli di Singapura. Adapun Randy ditangkap karena menawarkan enam buah  iPad 3G, Wi-Fi, 16 GB. Keduanya menawarkan iPadnya lewat situs Kaskus. Menurut Tempo Interaktif Penangkapan Dian dan Randy sendiri berawal dari inisiatif polisi yang melihat banyaknya transaksi ilegal iPad pada 2010 lalu. Direktorat Kriminal Khusus, lanjut Baharudin, pun melakukan penyelidikan untuk mengungkap dan melihat bagaimana perdagangan iPad ilegal tersebut. “Harapannya, kami dapat mengungkap siapa pengimpor barang yang tidak terdaftar dan siapa pelaku perdagangan ilegal itu.” Dari rangkaian penyelidikan, pada 24 November 2010 polisi menangkap Dian dan Randy. Baharudin tidak mendetail peranan keduanya, dia hanya menyatakan satu tersangka merupakan pengantar iPad dan satu lagi pemilik toko di Citywalk Sudirman, Jakarta Pusat. Pada penangkapan itu, keduanya tak bisa menunjukkan izin dari Dirjen Postel serta Kementerian Perdagangan dan tidak melampirkan buku manual berbahasa Indonesia. Dalam beberapa media yang saya baca keduanya di dakwa dengan Pasal 62 ayat (1) jo Pasal 8 ayat (1) UU No 8 Tahun 1999 dan Pasal 52 jo Pasal 32 ayat (1) UU No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
Soal melanggar ketentuan Pasal 62 ayat (1) jo Pasal 8 ayat (1) UU Perlindungan Konsumennya sih berita yang muncul adalah soal ada tidaknya manual penggunaan dalam bahasa Indonesia artinya keduanya dianggap melanggar Pasal 62 ayat (1) jo Pasal 8 ayat (1) huruf j UU 8/1999. Jika merujuk pengertian Pelaku Usaha pada Pasal 1 angka 3 UU 8/1999 yang menyatakan bahwa “Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha , baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayaah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama – sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”. Dalam konteks ini, keduanya memang dapat digolongkan sebagai Pelaku Usaha.
IMHO, saya ketentuan Pasal 62 ayat (1) jo Pasal 8 ayat (1) huruf j UU 8/1999 dan Pasal 52 jo Pasal 32 ayat (1) UU 36/1999 ini adalah suatu rumusan yang menurut hukum pidana dilarang keras dan tegas, karena keduanya memuat cek kosong. Kenapa cek kosong karena perbuatan pidananya baru dapat dinyatakan sempurna apabila ada aturan lain di bawah UU yang menegaskan bahwa hal tersebut diatur dan dilarang. Misalnya pasal 8 ayat (1) huruf j UU 8/1999 menyatakan “(j.) tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku”. Hal yang sama berlaku juga dalam Pasal 32 ayat (1) UU 36/1999 yang menyatakan “…wajib memperhatikan persyaratan teknis dan berdasarkan izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”
Dalam hukum pidana ada 3 asas penting yang penting di cermati dalam konteks kriminalisasi suatu perbuatan yaitu asas Lex Scripta, Lex Certa, dan Lex Stricta. Lex Scripta menegaskan bahwa Undang-undang (statutory, law) harus mengatur mengenai tingkah laku (perbuatan) yang dianggap sebagai tindak pidana. Tanpa undang-undang yang mengatur mengenai perbuatan yang dilarang, maka perbuatan tersebut tidak bisa dikatakan sebagai tindak pidana. Lex Certa menegaskan bahwa Pembuat undang-undang harus mendefinisikan dengan jelas tanpa samar-samar (nullum crimen sine lege stricta), sehingga tidak ada perumusan yang ambigu mengenai perbuatan yang dilarang dan diberikan sanksi. Perumusan yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak berguna sebagai pedoman perilaku. Lex Stricta menegaskan bahwa suatu materi dalam peraturan perundang-undangan tidak dapat diperluas atau ditafsirkan lain selain yang tertulis dalam peraturan perundangan atau dengan kata lain prinsip suatu ketentuan atau perundang-undangan tidak dapat diberikan perluasan selain ditentukan secara tegas dan jelas menurut peraturan perundang-undangan.

Saya hanya membayangkan, jika peraturan perundang-undangan yang mengatur kewajiban penggunaan manual dalam bahasa Indonesia dalam UU Perlindungan Konsumen itu sering berubah – ubah tentu membawa konsekuensi mudahnya orang menghadapi proses pidana. Selain itu juga persyaratan teknis dan ijin dalam UU Telekomunikasi juga berubah-ubah juga punya akibat yang sama. Ini yang saya sebut dengan cek kosong yang tidak dibenarkan dalam hukum pidana.

sumber : https://anggara.org/2011/07/04/cek-kosong-dan-kasus-ipad/
http://docslide.net/documents/uu-no-36-tahun-1999-tentang-telekomunikasi-pasal-20.html